Mati Rasa
12.33"Jika ingin tulisanmu menyentuh hati orang lain, maka tulislah dengan hati"
-Anies Baswedan
Post ini murni curhatan tentang kegalauan sisi melankolis saya selama kurun waktu satu tahun di ITB, kalo enek dan gak kuat sama hal-hal yang dramatis, dan serius, skip aja post ini yah :)
Pernah tahu pembagian karakter oleh seorang filsuf yunani menjadi melankolis, koleris, plegmatis, dan sanguinis ? kebetulan saya adalah perpaduan dari koleris dan melankolis. Kedua watak tersebut saling mengisi selama kehidupan saya. Tetapi dalam kurun waktu satu tahun terakhir, sisi melankolis itu secara gradual menurun kualitasnya. Seorang melankolis itu seharusnya peka, perenung, sensitif, detail, perfeksionis, dan lain-lain. Sangat tidak nyaman bagi seorang melankolis jika tidak bisa sensitif akan rasa senang, sedih, takut, bahkan sama sekali tidak merasakan apa-apa di dalam hati.
Mati Rasa. Ya, judul blog ini literally adalah hal yang saya rasakan akhir-akhir ini akibat dari sisi melankolis saya yang gradual menurun kualitasnya. Merenung, tapi tidak bisa mendapatkan apa yang disebut dengan emosi. Menurut sahabat saya yang mantan calon psikolog dan sekarang jadi calon chef masa depan (baca blognya disini), mati rasa ini adalah salah satu gejala depresi (alhamdulillah kagak kena), ciri-ciri yang lain adalah tempramental (sementara saya sama sekali gak tempramental, makanya saya bisa bilang gak kena depresi).
Dari mana datangnya ?
Masalah kepribadian ini begitu unik, kedua watak saya ini harus seimbang agar hidup saya juga seimbang. Sisi koleris saya membuat saya menjadi orang yang begitu goal oriented dan kurang mementingkan hubungan yang terjadi di dalamnya, sementara sisi melankolis saya selama ini tetap menjaga agar saya mengapresiasi hal-hal kecil dan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Akan tetapi, selama saya beraktivitas sebagai warga KM-ITB, saya hampir tidak pernah benar-benar terlibat secara emosi karena kebanyakan asas yang digunakan adalah profesionalitas, kalau bahasa unyunya, saya gak pernah melakukan sesuatu aktivitas dengan cinta, selalu dipenuhi pertimbangan "track gw kalo masuk sini bakal gimana ya?", "yang gw kenal kalo masuk sini itu bakal orang yang gimana sih?", dan pertanyaan-pertanyaan "apa untungnya buat gw?" yang lain. Awalnya, hal tersebut tidak terlalu berpengaruh, tapi secara gradual pertanyaan-pertanyaan tersebut membuat saya menjadi mati rasa. Kenapa? karena saya melupakan hal yang terpenting dari segala aktivitas, yaitu manfaat dan orang-orang hebat yang saya temui di dalamnya, bukan semata-mata tentang hal keren apa yang bisa kita buat. Sebenernya bermanfaat itu kebutuhan bagi semua orang. Secara natural, seseorang akan terpuaskan hatinya jika mereka itu bisa berbagi, menolong, dan membantu sesamanya. ada satu kutipan yang saya lupa dari siapa " Seseorang itu dibedakan dari dua hal, yaitu buku yang dia baca dan orang yang dia temui". Jadi, kita bisa belajar dari sahabat-sahabat kita begitu juga mengolah kemampuan untuk berhubungan secara emosional dengan orang lain.
Apa akibat mati rasa ?
Komunikasi
Inti dari komunikasi adalah pelibatan emosi di dalamnya dan ketersampaian emosi tersebut ke orang lain. Jadi, otomatis kalau susah merasakan emosi, komunikasi itu terasa lebih hambar dan tidak menghasilkan hubungan yang baik. Komunikasi langsung ataupun tulisan. Selama beberapa bulan ini saya berhenti menulis karena tidak bisa merasakan kenikmatan dari menulis tersebut dan kata-kata yang saya buat terasa hambar dan tak bernyawa (emang sekarang iya?).
Kinerja
Ketika kerja itu bukan dari hati, hasilnya akan benar-benar mengecewakan. Selama satu tahun terakhir, bisa dibilang kerja saya tidak ada yang diselesaikan secara benar, karena tidak ada keterlibatan cinta di dalamnya.
Jenuh
Kejenuhan akan datang lebih sering ketika kita tidak bisa merasakan kesenangan, ketakutan, kekecewaan, dan emosi-emosi lain dari apa yang kita kerjakan.
Perasaan
Bagaimana kita bisa peduli, kalau rasa iba saja tidak muncul dari hati kita?
bagaimana kita bisa berani, kalau rasa takut saja tidak muncul dari hati kita?
bagaimana kita bisa mencintai, kalau alasan-alasan yang kita buat dalam kepala lebih kuat daripada alasan-alasan yang muncul dari hati?
UDAH PULIH DHIK ?
Saya merasa saya udah mulai pulih. Benar atau tidaknya, kalian pembacalah yang bisa menilai, karena kembali lagi kepada kutipan dari pak Anis Baswedan ""Jika ingin tulisanmu menyentuh hati orang lain, maka tulislah dengan hati" , merasa tersentuh ? :))
4 komentar
Dhik, you will recover soon, you WILL. percaya dhik, setiap orang dianugerahi watak yg menjadi esensi dalam dirinya, separah apapun kondisi eksternal maupun internal yg mempengaruhi gak akan merubah itu, pasti deep inside masih ada.
BalasHapusContoh, seorang militer, dia dilatih untuk mematikan rasanya dan dipaksa, sangat dipaksa untuk menonjolkan sisi kolerisnya agar bisa terus fokus pada tujuannya melindungi negara, akan bahaya kalo ada keterlibatan emosi ketika berperang. Tapi seorang militer aja yg bisa berubah sedrastis itu masih bisa kembali sisi humannya, apalagi dhika ? ;) (ini cerita dr temen kita yg pernah menggeluti bidang militer dhikss, sisi sanguinisnya memudar, setelah lulus dan kumpul sm temen2nya, perlahan dia pulih lg)
pokoknya tenang aja, everything will be fine, kalo mau cerita, cerita aja yak dhikskey hehe
-Written with whole heart, bimo :3 (gak usah geli2an -_-) hahaha
Salam kenal :)
BalasHapusMakasih artikelnya. Pas nemu dan baca, ternyata saya bangeettt. Saya sensitif yang berubah jadi orang yang mati rasa. Kalau saya mungkin indikasinya depresi dan stres hiks...
Kak, saya masih bingung mengenai kutipan ini, "Seseorang itu dibedakan dari dua hal, yaitu buku yang dia baca dan orang yang dia temui" itu dalam korelasi apa ya?
BalasHapusTerimakasih
Halo Nisa, maaf saya baru lihat komentarnya. Intinya, yang dapat membedakan pola pikir, kepribadian, dan lain-lainnya adalah berdasarkan buku yang dia baca dan orang yang di atemui. Jadi setiap orang akan terpengaruh dari buku dan orang yang dia temui, gitu.
Hapus