Rasional dan irasional di saat yang bersamaan
10.44Rasionalitas
" The virtue of Rationality means the recognition and acceptance of reason as one's only source of knowledge, one's only judge of values and one's only guide to action. ... It means a commitment to the principle that all of one's convictions, values, goals, desires and actions must be based on, derived from, chosen and validated by a process of thought. "
Ayn Rand
Dalam ilmu psikologi, kita bisa menggunakan berbagai macam tools atau alat untuk memahami karakter seseorang. Judgement terhadap karakter orang tentunya akan lebih tepat ketika dilakukan oleh psikolog, tapi tentunya tidak salah toh kalau saya memakinya walau jadinya menyerempet seperti pseudoscience. Mari kita pakai mazhab karakter MBTI, maka saya adalah termasuk ENTJ. Si extroverted, Intuitive, Thinking, and Judging, cari punyamu sendiri di link ini :(http://www.keys2cognition.com/explore.htm ). Dengan mazhab yang cukup saya yakini sebagai karakter saya tadi membuat saya merasa masuk HMS begitu memuaskan hasrat berpikir saya dan mengokohkan dan memperkaya cara saya memandang keseluruhan dunia karena ia menawarkan penalaran terhadap segala sesuatunya. Bisa juga kita sebut sebagai pematangan worldview. Mantra-mantra dan doktrin sakti yang ada di HMS cukup template akan terdengar klise bagi anggotanya, tapi bagi saya mantra-mantra tersebut dapat mengantarkan saya ke berbagai konteks yang berbeda.
"Bos selalu benar" adalah mantra pertama yang selalu membuat saya berpikir berkali-kali sebelum menentukan sesuatu. Kalau kata Daniel Kahneman dalam bukunya Thinking fast and slow, ada dua cara berpikir : Fast thinking sebagai system 1 yang terdiri atas intuisi-intuisi serta judgement, lalu ada Slow thinking sebagai system 2 yang membuat manusia berpikir lebih jernih dan lebih kritis dalam memandang segala hal sesuai konteks. Pada awalnya saya menganggap frasa ini adalah pengejawantahan penindasan senior. Bos, adalah panggilan kami dari para kuya (junior) untuk senior atau sesama kolega HMS yang setara secara tingkat kader di HMS adalah orang yang selalu benar dan tidak boleh dilawan. Nyatanya saya salah kira, bos selalu benar adalah berarti dalam tindak-tanduknya, seorang HMS haruslah memperhitungkan segala sesuatunya baik manfaat ataupun resiko yang akan dilewati melalui proses logika yang sah dan benar sehingga menghasilkan suatu produk pemikiran yang benar. Oleh karena itu, di HMS saya begitu belajar apa yang namanya cara berpikir yang tertata dengan baik atau dengan kata lain mengasah System 2 (Slow Thinking) yang saya punya. Bahkan cenderung kebenaran yang akhirnya disepakati di HMS cenderung kebenaran yang sifatnya cukup kaku karena asas HMS sendiri yang harus berlandaskan kebenaran akademik. Padahal kita tahu, tentunya cukup banyak versi kebenaran lain.
#2 HMS selalu berusaha menjadi ideal dan menjadi apatis terhadap ketidakidealan adalah hal yang menyedihkan. Sebuah kalimat mantra yang juga menjadi salah satu concern organisasi di HMS. Bagi saya sebagai ketua angkatan dan sempat menjadi koordinator materi metode di kaderisasi pasif atau osjur HMS, ia punya porsi lain. Dengan mengejar ideal ini membuat saya sedikit memahami makna dari yang dimaksud Tan Malaka dengan "terbentur, terbentur, terbentuk". Saya cukup yakin bahwa menjadi HMS adalah salah satu proses yang paling berat yang pernah saya tempuh selama di kampus ITB. Saya terbiasa untuk bekerja sama dengan orang-orang yang memang mengikti organisasi untuk bekerja, berkontribusi melakukan sesuatu sehingga tidak menaruh banyak perhatian untuk mengajak orang-orang menyukai organisasi. Sementara di HMS, sebagai ketua angkatan yang berperan jadi teman nomor satu bagi semua orang. Saya berusaha mendorong kondisi teman-temanku agar dapat nyaman dan tidak melupakan komitmennya di HMS walaupun sebenernya kawan-kawanku ini tidak ingin berkegiatan di HMS.Kenapa ? Karena idealnya semua orang ingat komitmennya terhadap HMS dan berada di HMS. Walaupun kita sama-sama tahu hal itu tidak mungkin karena semua orang sampai di kampus dengan berbagai latar belakang dan tujuan yang berbeda. Akan tetapi dengan semangat mengejar konsepsi ideal mengenai himpunan adalah tempat berkembang dan menjamin anggotanya berkembang, hal tersebut teruslah dikejar oleh HMS. Sebagai koordinator materi metode, saya bersama teman-teman tentunya harus membuat materi yang benar dan disepakati oleh seluruh massa yang concern terhadap kaderisasi ini. Dalam proses itu bukan hanya karakter yang terbentuk, tapi bagaimana akhirnya satu, atau setidaknya secara proses mengusahakan satu HMS, bisa menyepakati kaderisasi dan segala konsekuensinya ditanggung secara bersama-sama.
Di mana letak rasionalnya ? saya memang diasah untuk menyayangi teman dalam aspek rasa, tapi harus menggunakan rasio untuk memilih apa yang terbaik untuk kita lakukan terhadapnya. Menjadi HMS berarti saya tidak boleh memikirkan perasaan saya saja, mematikan segala rasa sakit hati yang mungkin muncul, mematikan segala kekecewaan yang mungkin terjadi karena ternyata orang-orang yang kamu perjuangkan belum tentu memperjuangkanmu. HMS membuat saya menjadi rasional, mengajarkan bahwa apa yang disebut kekeluargaan bukanlah tentang mentoleransi keadaan sesama, tetapi membawa bersama-sama menghadapi kesulitan, menampar yang lain di saat ia lupa, dan tidak membiarkan siapapun yang tertinggal di belakang. HMS membuat saya mengerti, pengalaman tidak akan bisa digantikan dengan hal lain, karena pengetahuan dan emosi yang didapatkan dari satu pertemuan akan sangatlah berbeda. Oleh karena itu, saya tidak pernah diajarkan untuk melepas kuorum musyawarah, untuk tidak membahas segala sesuatunya bersama massa, untuk menggantikan forum di dunia nyata dengan forum dunia maya.
Dari semua itu, tanpa sadar saya telah menjadi orang berbeda. Berpikir ideal adalah suatu keharusan dengan segala hambatan yang ada. Berusaha untuk tidak mentolerir, atau setidaknya tidak mendiamkan segala ketidakidealan yang terjadi di sekitar saya. Tidak pernah merasa keberatan dengan konflik, karena dalam menuju ideal di HMS, saya menghadapi sangat banyak konflik. Ternyata hal-hal tersebut pun bukan hanya mempengaruhi saya dalam berpikir, tapi juga dengan bagaimana saya merasa, karena standard suatu hal bisa membuat sakit hati menjadi sangat jauh.
Irasionalitas
Boleh dibilang, kehidupan saya selama di kampus sangat banyak dipengaruhi oleh satu entitas organisasi kemahasiswaan yang sampai sekarang masih melekat padak saya Himpunan Mahasiswa Sipil ITB. Bagaimana tidak, terhitung sudah 3 tahun 17 hari saya memiliki status sebagai anggota biasa HMS ITB bersama kawan-kawan sipil 2012. Ternyata HMS bukan hanya mempengaruhi tindak tandukku dalam berpikir dan berperilaku, tetapi bagaimana saya merasa.
Tempo hari, setelah mungkin satu tahun yang lalu saya menyayikan mars angkatan ini bersama-sama, saya kembali menyanyikannya. Ya, itu berarti saya melepas secara sah kawan-kawanku sebagai alumni HMS ITB 2012. Rasanya begitu aneh, senang bukan main karena melihat kawan-kawanku sudah berhasil melewati fase kuliah, tetapi sedih sekali karena saya mendapatkan fakta bahwa saya harus terbiasa dengan sepinya hari-hariku jika saya ingin kembali ke HMS. Sebenernya bisa saja kita kita bertemu lagi di lain kesempatan, toh masih ada yang dibandung. Akan tetapi, ada yang berbeda rasanya ketika status mereka bukan lagi HMS. Sesuatu yang tidak bisa saya jelaskan, tapi bisa saya rasakan, dan saya tak tahu alasannya.
Saya sebut irasionalitas karena selama ini saya melihat hal-hal irasional yang bekerja seperti sihir, tentunya dengan mantra-mantra dan penurunan budaya yang terukir turun menurun.
#1 Semangat nomor satu. Dalam satu kejadian, angkatan saya berada dalam satu titik jenuh untuk menjalankan kepanitiaan kaderisasi. Saat itu saya diminta untuk mendatangkan angkatan saya dalam presentasi kaderisasi sebanyak 100 orang pada esok harinya. Melihat kondisi angkatan saat itu, saya berpikir realistis bahwa hal tersebut tidak mungkin tercapai. Akan tetapi apa yang saya dapat ? kata-kata penyemangat ? tidak. Saya ditegur cukup keras karena bahkan semangat nomor satu sudah tidak ada lagi dalam pikiran saya. Meksipun terdengar tidak realistis dan tidak rasional, tapi saya harus punya optimisme paling besar bahwa hal itu mungkin untuk dipenuhi. And yes, we didn't make it that day, but we make it on another day :). Rasa yang sama saya terapkan pada saat ditantang : apakah saya bisa mendatangkan TPB dalam hearing sejumlah 1800. Jawaban "ya" saya adalah hasil dari pengendapan nilai semangat nomor satu, hasil didik untuk tidak pernah menyerah sebelum berusaha. And again, we did not make it that day. Akan tetapi saya yakin, dengan menjawab pertanyaan tersebut akan mendorong seluruh elemen juga untuk berusaha mendatangkan sebanyak-banyaknya TPB dibanding saya menolak tantangan yang diberikan oleh seorang massa MTM saat hearing labtek biru. Walaupun menurut saya tantangan itu menjadi salah satu faktor saya kalah suara di banyak fakultas TPB.
#2 Ilmu logika : Jika dan hanya jika aku anggota HMS, maka seluruh anggota HMS adalah keluargaku.
Ilmu logika HMS memang bukan untuk dicerna secara logis, tapi lebih tepatnya bentuk pemaknaan. Oleh karena itu, proses dalam kaderisasinya pun bukan bentuk diskursus membentuk logika, tetapi dalam bentuk indoktrinasi. Dalam keadaan lelah, ilmu logika ini diulang berkali-kali agar semuanya meresapi dalam hati. Jika kita coba melihat prosesi arak-arakan HMS, maka kita akan melihat pemukulan wisudawan dengan lintingan koran yang menghasilkan lebam-lebam di punggung. Akan tetapi apakah kita kesal ? tentu saja tidak (bagi beberapa orang). Justru dengan banyak pukulan yang mendarat di punggung, semakin kita tahu semakin banyak orang yang sayang sama kita di HMS karena tidak ragu untuk memukuli kita di punggung. Di mana lagi kalian bisa lihat orang dipukulin sampe merah, abis itu orang yang mukul kalian peluk, dan bilang "terima kasih" sambil menangis-nangis bombay ? entah sampai kapan budaya dan persepsi ini akan turun karena udah dilarang juga sama mas boi. saya hanya berharap saat saya lulus, saya mendapat pukulan yang pantas. Akan tetapi, keindahannya bukan disitu, keindahannya terletak di proses menuju wisuda.
Bagi saya, HMS membuat saya begitu irasional ketika berbicara terkait teman. Bagaimana tidak ? proses berat seperti tangis menangis, putus asa, dan berkonflik sudah menjadi makanan sehari-hari. Di sana saya mendapatkan orang-orang terbaik yang mampu menemani saya di setiap kondisi. Bukan hanya susahnya, kebodohan bersama pun juga kami lalui, sampai kami tahu alarm, kebiasaan saat tidur, bahkan kami tahu kemana perginya teman kami ketika kehadirannya tidak dirasakan di sekretariat. Hal inilah yang membuat saya masih terus mengusahakan mampir ke HMS walaupun saya cukup disibukkan pikiran dan waktunya di kegiatan-kegiatan terpusat. Saya tahu bahwa di tingkat akhir adalah waktu-waktu terakhir saya bisa menemani teman-teman saya di kampus. Ya, dan inilah yang membuat saya tak sadar meneteskan air mata setelah teman-teman saya di nonhimkan. Bukan hanya teman seangkatan, tapi juga kakak-kakak kelas yang sebelumnya sudah menemani malam-malam saya di HMS. Dalam hati kecil saya, saya menjawab dengan puas pertanyaan saya saat SMA : Apakah iya nanti saat kuliah kita sendiri-sendiri ? dengan yakin saya bisa jawab tidak.
Antara rasionalitas dan irasionalitas yang saya dapat di HMS tentunya terdapat bias yang mungkin teman-teman pembaca lihat karena pembagian di atas juga hanya sebahagian cerita saya di HMS dan subjektif dari saya. Bagian ini dalam growing tree adalah salah satu penguat batang agar ia menjadi sosok yang tegar dan dapat menunjukkan kekuatan serta kemegahannya, memperkuat akar agar akan semakin yakin dengan dasar ia berpijak, dan menjadi daun sehingga bisa menjadikan sekitarnya tempat yang nyaman dan tentram :).
3 komentar
Keren Dhik, lanjutkan!
BalasHapusPada hakikatnya kita semua adalah penulis, penulis sejarah peradaban. Perhatikan selalu ke mana ujung penamu bergerak!
Sebuah organisasi adakalanya mengikat kita dengan banyak simpul komitmen. Entah itu mengarahkan ke pengembangan diri kita yang lebih baik, entah mengungkung kita dalam hal yang sama, berputar-putar dan mengendap di hati, pikiran, dan perilaku dalam waktu yang lama. Aku gak bisa memberikan judgement tertentu pada orang yang melalui segala proses yang gak aku alami di organisasinya. Yang jelas, kesadaran untuk 'berkontribusi' pada organisasi kita itu merupakan pencapaian tertinggi dalam proses mencintai organisasi kita.
BalasHapusKeren kak tulisannya :) SEMANGAT !!! Semoga segera mendapatkan pukulan nonhim dari HMS :)
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus