Evaluasi resolusi para alumni Ramadhan

Ada yang berbeda dengan idul fitri 1438 H kemarin. Pasca idul fitri, saya sudah bukan lagi menjadi seorang mahasiswa. Keadaan ini membuat sa...

Ada yang berbeda dengan idul fitri 1438 H kemarin. Pasca idul fitri, saya sudah bukan lagi menjadi seorang mahasiswa. Keadaan ini membuat saya berpikir lebih jauh tentang apa yang ingin saya lakukan ke depan. Pikiran saya tentang apa yang akan saya lakukan pasca kampus berubah dari satu setengah tahun kemarin. Hal itu karena yang saya dapat ketika menjadi presiden keluarga mahasiswa, tidak disangka membuat pandangan saya terhadap dunia sedikit banyak berubah, tentang siapa yang menang di dunia dan tentunya saja di akhirat. Pengalaman selama di kampus mengasah cara pandang saya terhadap dunia (worldview), dan menggunakan islam sebagai konteks mendefinisikan winning condition kehidupan pasca kampus saya. Kenapa pakai winning condition segala ? Selain karena memudahkan saya untuk menyusun playbook saya sendiri, layaknya lelaki millenial, saya suka main game, jadinya suka mengibaratkan beberapa hal dalam kehidupan saya itu seperti di game saja, hehe. Apa winning conditionnya, biarlah Allah dan beberapa orang saja yang tahu, jika anda membaca ini, mohon doa saja agar saya diberikan yang terbaik.

Di samping hamparan realitas kehidupan yang saya harus hadapi, di tengah hiruk pikuk, beberapa bulan di rumah kembali menyadarkan saya bahwa memang masih ada orang yang tulus, Sesederhana dengan melihat Bapak dan Ibu saya. Terpaut satu generasi dengan para pemuda generasi Y dan Z tak membuat mereka hilang semangat. Saya diajak ke masjid nurul iman (masjid RW) oleh Bapak saya semenjak di masjid itu hanya ada tiga orang sholat : si muadzin (marbot), bapak saya yang menjadi imam, dan seorang anak kecil imut bernama Mahardhika. Ibu saya menginisiasi pendirian TPA di masjid tersebut bersama-sama kelompok ibu-ibu RW yang nantinya akan menjadi pendiri catering. Sekarang, melihat masjid Nurul Iman dengan jamaah yang semakin besar, empat shaf saat shalat subuh, beratus-ratus alumni TPA Nurul Iman, Bapak Ibu saya masih tetap konsisten untuk berada di tengah-tengah jamaah, melakukan pekerjaan secara istiqomah selama belasan tahun bahkan semenjak dunia bagi saya begitu hitam putih. Semangat kepemudaannya untuk menginisasi perubahan sosial, melakukan tugas-tugas yang dipanggil "Agen perubahan" tidak lantas selesai setelah menjadi mahasiswa, dan itu yang selalu membuat saya kembali percaya, bahwa niat untuk berbuat baik dengan idealisme yang didapat selama mahasiswa, sangat mungkin dilakukan.

Bersyukur di ramadhan kemarin saya masih diberikan kesempatan untuk bersua dengan bulan penuh rahmat dan pengampunan sehingga masih diberikan kesempatan untuk hijrah kembali. Karena tentunya selalu ada tingkatan hijrah berikutnya bukan ? ketika kita terbiasa baik maka kelamaan standar baik tersebut menjadi suatu standar buruk karena kita punya standar kebaikan yang baru, maka jangan pernah berpikir kita sudah dipuncak kebaikan. Dengan niat berhijrah kembali, kebetulan sekali saya mendengarkan khutbah ramadhan dan khutbah iedul fitri di Masjid Al-Muhajirin dan mengena dengan hal yang sedang saya pikirkan.

Mulai malam takbiran, biasanya di handphone kita akan ada notifikasi pesan yang sudah pasti kita prediksi isinya, tak jauh-jauh dari kembali nol, kembali suci, kembali ke fitrah, atau lebih tepatnya dalam hadits, kembali seperti bayi. Itu semua adalah hal yang diimpikan para alumni ramadhan setelah diwisuda dari ramadhan. Akan tetapi, seringkali kita hanya memaknai bahwa kembali seperti bayi, hanyalah berarti bersih kembali dari dosa, and another one year of sinful deeds here i come. Padahal, perenungan kita yang lebih dalam dan bertanya : sebenarnya, kembali seperti bayi itu seperti apa sih ? akan membawa kita pada hal-hal ini (sambil dibayangin adiknya, keponakan, atau bayi saudaranya :).

1. Pejuang

Tak peduli berapa kali jatuh, si bayi akan terus belajar kemampuan-kemampuan baru untuk membuatnya bisa melakukan orang-orang biasa lakukan pada umumnya. Walaupun hanya untuk berjalan, ia harus berjalan mulai dari tengkurap, lalu beranjak ke merangkak, berdiri, baru akhirnya dapat berjalan. Menuju tahap itu, si bayi tentunya berkali-kali terjatuh, tapi si bayi tidak peduli, dia tetap mencoba hingga akhirnya kakinya bisa menjelajahi bumi. Ketika terjatuh berkali-kali, beberapa kali si bayi menangis. Namun, tangisannya bukanlah karena melihat orang-orang dewasa lain sudah bisa menapak bahkan berlari, melainkan tangis sementara untuk menumpahkan energi dan memberitahu apa yang dia rasakan.

2. Menyenangkan

Kalau kamu berinteraksi dengan bayi, pasti kamu tahu bahwa kunci utamanya adalah senyum, tertawa, atau ekspresikan antusiasmu padanya, maka bayi itu akan ikut senyum, bahkan tertawa. Walaupun seringkali menangis, beol sembarangan, pipis tak terkontrol, dan hal-hal yang menyebalkan lainnya, (sebagian besar) kita tetap sabar menghadapinya. Kenapa ? selain karena kita tahu dia belum mengerti apa-apa, itu juga karena si bayi itu menyenangkan ! dan akan ikut senang jika diberikan hal-hal yang menyenangkan, jadi kenapa kita harus menjadi seorang yang menyebalkan jika fitrahnya setiap manusia dilahirkan menjadi bayi yang menyenangkan ?

3. Pemaaf

Semakin tua, kita semakin pusing dengan permasalahan ego manusia, ada yang baper karena salah ucap atau perlakuan, iri karena yang lain dapat kesempatan lebih besar, atau ketegangan hubungan lainnya. Dunia orang dewasa menjadikan sifat pemaaf ini adalah hal yang sangat sulit diraih. Namun, cobalah kita tengok si bayi. Walaupun bapaknya mungkin tertatih-tatih memasangkan popok karena baru belajar, masakannya tidak ada rasanya, ataupun kesalahan-kesalahan minor lainnya selain kesalahan didik, dia tidak akan ingat walaupun harus menangis seharian terlebih dahulu. Menjadi pemaaf sangatlah mahal tetapi ganjarannya luar biasa. Kita seringkali dengar kisah sahabat Rasulullah yang divonis masuk surga, padahal amalannya biasa saja, ternyata sahabat itu setiap malamnya selalu memafkan semua kesalahan-kesalaahan orang lain sebelum dia tidur, dan satu tiket eksklusif surga dia dapatkan.

Jika bicara tentang pemaaf, maka bolehlah kita menengok ke tokoh masyhur dari melayu, Buya Hamka. Setiap mendengar banyak potongan kisahnya, saya merinding membayangkan karakter seperti ini pernah hidup di tanah air Indonesia. Buya Hamka adalah sosok yang lembut, tetapi sangat tegas dalam keislamannya. Beberapa kali ia dikritik oleh penulis kenamaan Pramoedya Ananta Toer, saudara sesama muslim, kritik pedas bahkan lontaran hinaan dilemparkan Pram pada Buya Hamka yang didasarkan pada perbedaan ideologi. Namun, Buya Hamka tidak membalasnya. Pada hari kemudian, seorang lelaki datang pada Buya Hamka, dan ternyata lelaki itu adalah calon menantu Pram yang diperintah olehnya untuk belajar islam. Jika Buya Hamka tidak pemaaf, calon menantu itu tidak mungkin dididik oleh Buya Hamka, tetapi ternyata sejarah menceritakan Buya Hamka menerimanya.

Kisah lain adalah ketika Soekarno mulai paranoid melindungi kekuasaannya, ia menangkap beberapa lawan politiknya, salah satunya adalah Buya Hamka. Ia memenjarakan Buya Hamka. Akan tetapi, di akhir hidupnya ketika Soekarno sudah jauh dari hiruk pikuk dunia dan kekuasaan, beliau memberikan surat wasiat agar Buya Hamka yang menjadi imam sholat jenazahnya dan beliau menerima permintaannya. Sekali lagi jika Buya Hamka tidak pemaaf, mungkin sejarah akan menuliskan akhir hidup yang sekarang sudah terdengar cukup tragis, semakin tragis lagi.

Pikiran saya setelah mendengar kisah-kisah Buya Hamka , "ah itu kan Buya Hamka, alim ulama coy, jauh da aku mah apa atuh, hanya butiran mecin yang jatuh disamping penggorengan". Tetapi, mau sebengis apapun manusia, pasti ada sedikit rasa pemaaf karena memang sudah fitrahnya. Contohnya siapa ? Genghis Khan. Tau kan ? that nomaden mongolian emperor who rose mongolian empire from scratches to conquer regions in asia and europe based on fear. Ketika sedang menaiki tangga kekuasaan, Sebelum menjadi Genghis Khan, namanya adalah Temujin, ia mempersatukan bangsa mongol yang terdiri dari banyak kelompok/suku nomad (tribes) tidak sendiri. Genghis Khan mengumpulkan kekuatan itu bersama blood brother, Jamukha. Namun, "dua matahari tidak mungkin ada dalam satu tata surya", Jamukha yang juga keturunan bangsawan memisahkan diri dengan membawa sebagian tribes dan pasukannya. Bukan hanya itu, Pasukan Jamukha secara diam-diam menyerang pasukan Temujin yang sedang patroli. Mulai dari saat itu, Temujin mempersiapkan militernya dengan kejeniusan disiplin yang tidak ditemukan di tribe mongolia lainnya, dan akhirnya menyerang langsung Jamukha. Singkat cerita, pasukan Jamukha kalah, dan Jamukha kabur bersama elitnya. Akan tetapi, mencari keselamatan, elit Jamukha berbalik dan menyerahkan Jamukha kepada Temujin untuk dibunuh dan mendapatkan hadiah dari perlakuan itu. Namun, yang dilakukan Temujin justru membunuh elit-elit yang membawa Jamukha ke tempatnya, dan menawarkan Jamukha untuk kembali bergabung dengan pasukannya. Betul, Temujin memaafkan Jamukha yang telah memecah belah apa yang ia bangun, bahkan mengkhianatinya dengan menyerang pasukannya. Walaupun akhirnya Jamukha tetap minta diperlakukan sebagaimaa seorang pengkhianat dari kalangan bangsawan dieksekusi, dari kisah ini kita dapat melihat bahwa sehitam-hitamnya manusia, masih ada sedikit sifat fitrah pemaaf dalam dirinya.

Kamu mungkin punya kesan hikmah tersendiri ketika melihat bayi, apa itu ? mungkin kamu bisa memberitahu saya supaya khazanah pengetahuan perbayian (sangat tidak EYD) kita bisa bertambah. Tapi yang paling penting dari segala sifat yang menyerupai bayi, kita tahu bahwa keadaan bayi adalah saat yang paling fitrah dari seorang manusia. Walaupun dunia ketika kita semakin beranjak dewasa sangatlah berbeda dengan dunia para bayi. Setidaknya setiap ramadhannya, kita akan selalu diingatkan, bahwa fitrahnya seorang manusia adalah mereka yang pejuang, menyenangkan, dan selalu memaafkan. Dan mungkin, hal itulah yang membuat Ayah dan Ibu saya yang semakin banyak ubannya tidak juga rontok semangatnya. Selanjutnya giliran saya untuk melanjutkan apa yang telah dibangun, dan kita semua sebagai penerus segala perjuangan yang dibangun oleh generasi sebelum kita. Jadi, sudah sampai manakah kita ? Sudah seberapa besar si bayi itu sekarang ? Apakah si bayi itu masih meninggalkan sisa-sisa fitrahnya ? Sudah seberapa sukseskah resolusi kita sebagai alumni ramadhan ? :)

You Might Also Like

1 komentar